BAB III
PEMBAHASAN
3.1 LETAK GEOGRAFIS
Desa Wisata Adat Penglipuran,
terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Propinsi Bali,
dengan ketinggian 500-600 m di atas pemukaan laut dan koordinat GPS 8,0292893° LS,
115,03036° BT. Yang berjarak 5 Km arah utara dari Kota Bangli dan
45 Km dari kota Denpasar.
Luas Desa Penglipuran adalah 112 Ha, 9 Ha digunakan sebagai pemukiman
warga dan sisanya adalah hutan dan tanah tegalan atau ladang.
3.2 SEJARAH
Dari
sudut pandang sejarah, kata panglipuran berasal dari kata “pengling pura” yang
memiliki makna eling/ingat akan tempat suci/ pura untuk mengenang para leluhur.
Desa ini sangat berarti bagi penduduk sejak leluhur mereka datang dari desa
bayung gede, kecamatan kintamani yang jaraknya cukup jauh dari desa
panglipuran, oleh karena itu masyarakat desa panglipuran mendirikan tempat
suci/ pura yang sama sebagaimana yang ada di desa Bayung Gede. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat desa panglipuran masih mengenal asal-usul mereka.
Pendapat
lain mengatakan bahwa “penglipuran” diambil dari kata “penglipur” yang berarti
“penghibur” dimana pada jaman kerajaan desa ini kerap kali dipakai raja untuk
tempat peristirahatan.
Desa
penglipuran sudah ada sejak 700 tahun yang lalu, yaitu pada zaman kerajaan
Bangli. Menurut penuturan para sesepuh/ penglisir, desa penglipuran merupakan
serpihan dari desa Bayung Gede, Kintamani. Kata penglipuran berasal dari kata
“pengeling dan pura” pangeling = ingat/ mengingat, dan pura = tempat/ benteng/ tanah leluhur. Jadi
penglipuran artinya ingat kepada tanah leluhur/ tempat asal mulanya. Hal ini
didasarkan pada alasan bahwa pendahulu/ leluhur desa penglipuran berasal dari
desa Bayung Gede, Kintamani. Karena letak jarak antara antara Kota
Raja Bangli dengan Desa Bayung Gede sangat jauh (sekitar 25 km) dan perjalanan
jaman dulu dengan jalan kaki dan maksimal naik kuda, maka untuk memudahkan
komunikasi dibuatlah semacam peristirahatan di daerah Kubu (4,5 km) dari kota
Bangli. Dari waktu ke waktu akhirnya warga ini terus bertambah banyak karena
sudah ada yang berkeluarga dan sudah layak untuk menjadi desa. Sebelum bernama
Penglipuran, desa ini dulunya bernama desa Kubu Bayung yang artinya orang
Bayung yang tinggal di wilayah Kubu
Desa Adat
Penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik dari
struktur desa tradisional, sehingga mampu menampilkan wajah pedesaan yang asri.
Penataan fisik dari struktur desa tersebut tidak terlepas dari budaya
masyarakatnya yang sudah berlaku turun temurun. Sehingga dengan demikian Desa
Adat Penglipuran merupakan obyek wisata budaya. Keasrian Desa Adat Penglipuran
dapat dirasakan mulai dari memasuki kawasan pradesa dengan hijau rerumputan
pada pinggiran jalan dan pagar tanaman menepi sepanjang jalan, menambah
kesejukan pada daerah prosesi desa.
Pada areal
catus pata setelah prosesi tersebut, merupakan areal tapal batas memasuki Desa
Adat Penglipuran. Balai wantilan dan fasilitas kemasyarakatan serta ruang
terbuka pertamanan, merupakan daerah selamat datang (Welcome Area).. Areal
berikutnya adalah areal tatanan pola desa, yang diawali dengan gradasi ke fisik
desa secara linier ke arah kanan dan kiri.
Konsep "Tri
Mandala" diterapkan di desa ini, yang membagi desa menjadi tiga bagian
utama. Bagian paling suci adalah "Utama Mandala" yang terletak di
bagian Utara desa di mana candi berada, bagian kedua disebut "Madya
Mandala" di mana penduduk desa hidup dan melakukan kegiatan mereka, dan
bagian terakhir adalah "Nista Mandala" di mana kuburan berada.
3.3 PENGARUH SOSIAL, EKONOMI,
BUDAYA.
3.3.1 SOSIAL-BUDAYA
Kehidupan sosial-budaya masyarakat di Desa Wisata
Penglipuran masih sangat kental, ini dibuktikan masih antosiasnya masyarakat
lokal untuk melakukan berbagai macam upacara keagamaan seperti; piodalan,
pecaruan, pamungkahan dan lain-lain. Dalam hal upacara keagamaan di pura,
pelaksanaannya sepenuhnya dilakukan oleh anggota (krama) desa adat dan biayanya
diperoleh dari desa adat setempat, sumbangan dari hasil penjualan tiket masuk
Desa Wisata Penglipuran dan bantuan dari pemerintah Kabupaten Bangli
Masyarakat lokal sama sekali tidak mempermasalahkan
apabila tempat suci (pura) yang ada di kawasan wisata juga dijadikan objek
wisata sejauh masih memenuhi atau sesuai dengan peraturan (awig-awig) yang
berlaku. Masyarakat lokal sebenarnya tidak mengharapkan uang atau sumbangan
atas dijadikannya mereka sebagai pertunjukan wisata pada saat upacara keagamaan
berlangsung. Tetapi apabila ada wisatawan
yang ingin menyumbang, sumbangan tersebut dimasukkan/ diterima oleh desa adat.
Kehidupan sosial masyarakat berjalan dengan baik dan tidak ada indikasi
terjadinya konflik kepentingan antar warga.
Hal yang sangat signifikan bisa dilihat mengenai
kehidupan sosial dan budaya dari masyarakat Penglipuran adalah kesamaan tata
pengaturan perumahan yang hanya dilalui oleh satu rurung (jalan) yang membagi
perumahan pada tempek kangin (sebelah timur) dan tempek kauh (sebelah barat).
Angkul-angkul (pintu masuk) yang yang memiliki kesamaan antara satu rumah
dengan rumah lainnya yang berhadap hadapan, tata letak bangunan di dalam area
perumahan dimana diharskan setiap rumah memiliki bale adat dan dapur adat yang
bentuk dan fungsinya sama pada setiap perumahan. Selain itu keharmonisan juga
terlihat dari adanya jalan pintas yang menghubungkan satu rumah dengan rumah
lainnya, ini menandakan bahwa masyarakat pemglipuran merupakan masyarakat
sosial yang tidak bisa lepas dari masyarakat lainnya
Pada dasarnya masyarakat lokal menerima dengan baik
dan merasa bangga sehubungan dengan desanya dijadikan sebagai salah satu Desa
Wisata di Bali. Masyarakat berpendapat bahwa dengan dijadikannya sebagai Desa
Wisata setidaknya memberikan kontribusi kepada desanya walaupun secara langsung
mereka belum menikmatinya. Namun, pembangunan Desa Wisata juga memberikan
peluang kerja kepada beberapa masyarakat lokal yang berkompetensi dalam bidang
kepariwisataan
3.3.2 EKONOMI
Pembangunan pariwisata berkelanjutan di Desa Wisata
Penglipuran belum sepenuhnya memberikan manfaat ekonomi secara langsung dan
adil kepada masyarakat lokal (host community) karena hanya 5% masyarakat lokal
bekerja di sektor pariwisata. Tetapi secara tidak langsung masyarakat lokal
telah mendapatkan manfaat ekonomi, manfaat ini diperoleh melalui Desa Dinas
atau Desa Adat dimana mereka berada, karena sebagian penghasilan dari panjualan
tikrt masuk Desa Wisata Penglipuran masuk ke kas Desa Adat (Juniarta, 2011).
Tiket masuk daya tarik wisata di Desa Wisata Penglipuran sebesar Rp. 7.500/kepala (wisatawan). Pendapatan Desa Wisata penglipuran yang diperoleh dari hasil penjualan tiket dibagi tiga yaitu:
Tiket masuk daya tarik wisata di Desa Wisata Penglipuran sebesar Rp. 7.500/kepala (wisatawan). Pendapatan Desa Wisata penglipuran yang diperoleh dari hasil penjualan tiket dibagi tiga yaitu:
1)
Untuk petugas pemungut
tiket masuk,
2)
Untuk pemerintah daerah
Kabupaten Bangli
3)
Untuk Desa Adat
Penglipuran.
Cara
pembagian pendapatan tersebut adalah; 20% dari total pendapatan perbulan
diberikan kepada petugas penjaga tiket masuk, yang pada hal ini dibebankan
kepada Sekaa Truna Yowana Bhakti yang nantinya dibagi lagi sebesar 15% untuk
yang bertugas dan 5 % untuk kas Sekaa Truna Yowana Bhakti. Kemudian sebesar 60%
untuk pemerintah daerah Kabupaten Tabanan. Dan sisanya sebesar 20% untuk Desa
Adat Penlipuran. Pembagian tersebut berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Tabanan. Karena hanya ada 1 jalan masuk/main entry menuju desa wisata
penglipuran, memudahkan petugas dalam memungut tiket masuk
Ditemukan
juga bahwa hanya sedikit usaha perekonomian masyarakat lokal yang berhubungan
langsung dengan industri pariwisata. Warung-warung yang ada disekitar daerah
objek wisata hanya diperuntukan untuk masyarakat lokal dan wisatawan domestik
dan bukan untuk wisatawan manca negara karena warung-warung tersebut tidak
memiliki standar internasional. Kebanyakan masyarakat lokal masih tetap
bergelut dalam bidang pertaninan yang merupakan profesi yang telah ditekuni
bertahun-tahun dan warisan nenek moyangnya. Penghasilan dari hasil pertanian
mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Sekarang ini,
hasil pertanian sangat tidak sesuai dengan harapan masyarakat lokal dan bahkan
cendrung merugi apabila dihitung antara biaya yang dikeluarkan oleh petani
untuk mengolah lahannya dengan hasil penjualan hasil pertaniannya. Akan tetapi
masyarakat Desa Wisata Penglipuran memiliki ide kreatif dalam memanfaatkan
sumber daya yang ada di desanya yaitu hutan bambu yang berada di utara desa
dimana bambu yang biasanya dipakai sebagai atap rumah kini juga dikembangkan
sebagai kerjinan-kerajinan yang yang dijajakan didalam area perumahan yang
tentunya memiliki nilai ekonomi dan bisa menambah penghasilan masyarakat desa
penglipuran. Agar tidak terjadi perebutan dalam penjualan souvenir, ada aturan
yang mengatur dimana wisatawan harus membeli kerajinan tangan dirumah penduduk
yang ditujukan oleh pecalang setempat. Hampir semua masyarakat desa penglipuran
memiliki semacam tempat untuk memajang hasil kerajinannya di dalam pekarangan
rumah.
3.3.3 LINGKUNGAN
Pembangunan pariwisata di Desa Wisata Penglipuran
tidak mengakibatkan dampak-dampak negatif terhadap lingkungan dan penurunan
kualitas tanah atau lahan pertaninan baik lahan perladangan maupun persawahan.
Kelestarian hutannya masih tetap terjaga dengan baik. Masyarakat secara
bersama-sama dan sepakat untuk melestarikan hutannnya dan tanpa harus ketergantungan
terhadap hutan tersebut. Pada dasarnya masyarakat lokal telah sadar terhadap
perlunya pelestarian hutan, karena kawasan hutan yang dimaksud merupakan daerah
resapan air yang bisa dipergunakan untuk kepentingan hidupnya maupun mahluk
hidup yang lainnya serta untuk keperluan persawahan
Untuk mejaga lingkungan tetap asri, Desa Adat
Penglipuran memiliki aturan aturan yang mengatur mengenai hari/waktu untuk
melakukan kerja sosial untuk membersihkan lingkungan. Setiap harinya masyarakat
penglipuran dibebankan untuk membersihan wilayah/pekarangan rumahnya, utamanya
pada area depan rumah yang ditanami rumput, pemotongan rumput dilakukan 2 kali
dalam sebulan pada tanggal 1 dan 15 setiap bulannya. Apabila ditemukan ada
rumput yang menjalar liar atau tidaka dipotong akan dikenakan denda sebesar Rp
1000 . untuk kebersihan tempat umum seperti pura desa dilakukan oleh desa adat
setiap 2 kali dalam sebulan saat rahinan (hari baik umat hindu) purnama.
Kebersihan tempat parkir dilakukan oleh desa dinas yang dilakukan setiap 2 kali
dalam sebulan saat manis tumpek
Dalam upaya untuk menjaga lingkungan tetap bersih,
desa penglipuran memiliki sebuah tempat sampah yang ukurunya cukup besar yang
merupakan sumbangan dari pemerintah Kabupaten Bangli. Semua sampah masyarakat
desa penglipuran dikumpulkan di tempat ini yang nantinya diambil secara rutin
setiap seminggu sekali oleh Dinas Kebersihan Kabupaten Bangli.
3.4 PESONA DAN DAYA
TARIK DESA PANGLIPURAN
Desa Penglipuran merupakan salah satu daerah di Bali
terutama di Kabupaten Bangli yang memiliki banyak julukan, diantaranya:
Desa Adat, Desa Budaya, dan Desa Wisata. Hal tersebut ditinjau dari berbagai aspek seperti: sistem adat, tata ruang,
perkawinan, bentuk bangunan dan topografi, stratifikasi sosial,
kesenian, mata pencaharian, organisasi, dan obyek
wisata
3.4.1 RUMAH ADAT
DESA PANGLIPURAN
Rumah-rumah yang ada di desa ini dari Utara ke Selatan
tampak indah khususnya pintu masuk tradisional Bali yang dibuat mirip satu sama
lain. Ketika kita melangkah ke desa ini, kita akan melihat rumah-rumah Bali ke
Timur Laut berorientasi pada Gunung Agung yang terletak di Timur Laut pulau
Bali. Struktur rumah satu sama lain adalah sama dalam kondisi tertentu, bentuk,
ukuran dan fungsi kecuali rumah untuk ruang tidur keluarga.
Desa ini memimpin dengan seorang pemimpin yang disebut
Bendesa Adat dan dibantu oleh Penyarikan . Sistem organisasi desa disebut
"Ulu Apad" yang merupakan salah satu Sistem Organisasi Bali tertua .
Dalam sistem itu, ada 76 anggota menjadi wakil desa. Bagian atas 12 anggota
yang disebut "Kanca Roras". Imam desa disebut Jero Kubayan, ada dua
Jero Kubayan mereka Jero Kubayan Mucuk dan Jero Kubayan Nyoman.
3.4.2 SISTEM ADAT
Di desa
Penglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu menurut sistem
pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem yang
otonom atau Desa adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal berdiri
sendiri-sendiri dan setara. Karena otonom, desa adat mempunyai aturan-aturan
tersendiri menurut adat istiadat di daerah penglipuran dengan catatan aturan
tersebut tidak bertentangan dengan pancasila dan Undang-undang
pemerintah.Undang-undang atau aturan yang ada di desa penglipuran disebut
dengan awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari landasan
operasional masyarakat penglipuran yaitu Tri Hita Karana.Tri Hita Karana
tersebut yaitu sebagai berikut :
a. Prahyangan, adalah hubungan manusia
dan tuhan. Meliputi penentuan hari suci,tempat suci dan lain-lain.
b. Pawongan,
adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan
masyarakat penglipuran dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan dengan
orang yang bedaagama. Dalam pawongan bentuk-bentuknya meliputi sistem
perkawinan,organisasi, perwarisan dan lain-lain.
c. Hubungan
manusia dan lingkungan,
masyarakat desa penglipuran diajarkan untuk mencintai alam lingkungannya
dan selalu merawatnya, tidak heran kalau desa penglipuran terlihat begitu
asri.
Filsafat
hubungan yang selaras antara alam dan manusia dan kearifan manusia
mendayagunakan alam sehingga terbentuk ruang kehidupan terlihat jelas
di Penglipuran dan daerah lain di Bali. Oleh karena itu visualisasi
estetika pada kawasan ini bukan merupakan barang langka yang sulit dicari,
melainkan sudah menyatu dalam tata lingkungannya.
3.4.3 TATA RUANG
Tata ruang desa penglipuran
dikenal dengan Tri Mandala yang terdiri dari tiga bagian yaitu :
a. Utama Mandala
Orang Penglipuran biasa menyebutnya
sebagai Utama Mandala , yang bias diartikan sebagai tempat suci. Ditempat
inilah orang-orang Penglipuran melakukan kegiatan sembahyang kepada Sang Hyng
Widi yang mereka percaya sebagai Tuhan mereka.
b. Madya Mandala
Biasanya
adalah berupa pemukiman penduduk yang berbanjar sepanjang jalan utama desa. Barisan itu berjejer menghadap
kearah barat dan timur. Saat ini jumlah rumah yang ada disana ada sebanyak 70 buah. Tata ruang pemukimannya
sendiri adalah sebelah utara atau timur adalah purakeluarga yang telah diaben. Sedangkan Madya Mandala adalah
rumah keluarga. Di tiap rumah pun terdapat tata ruang yang telah diatur oleh
adat. Tata ruang nya adalah sebelah utara dijadikan sebagai tempat tidur, tengah
digunakan sebagi tempat keluarga sedangkan sebelah timur dijadikan sebagai
tempat pembuangan atau MCK. Dan bagian nista dari pekarangan biasanya berupa
jemuran, garasi dan tempat penyimpanan kayu.
c. Nista
Mandala
Nista
mandala ini adalah tempat yang paling buruk, disana terdapat kuburan dari
masyarakat penglipuran.
Konsep tri mandala tidak hanya
berlaku bagi tata ruang desa tetapi juga bagi tata ruang rumah hunian. Setiap
kapling rumah warga Penglipuran terbagi menjadi tiga bagian. Di halaman depan,
terdapat bangunan angkul-angkul dan ruang kosong yang disebut natah;
bagian tengah adalah tempat berkumpulnya keluarga; dan di bagian paling
belakang erdapat toilet, tempat jemuran, atau kandang ternak.
3.4.4 PERKAWINAN
Di desa ini ada adat yang berlaku soal perkawinan yakni pelarangan
poligami terhadap para penduduknya. Adat melarang hal tersebut demi menjaga
para wanita. Meskipun ada yang boleh melakukan poligami namun akan mendapat
sanksi. Sanksi biasanya si poligami akan ditempatkan pada tempat yang
bernama nista mandala. Dan dilarang melakukan perjalanan dari selatan ke utara
karena wilayah utara bagi orang penglipuran adalah wilayah yang paling
suci. Masyarakat Penglipuran juga pantang untuk menikahi tetangga
disebelahkanan dan sebelah kiri juga sebelah depan dari rumahnya. Karena
tetangga-tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.. Bagi
warga yang ingin menikah dengan orang di luar Penglipuran bisa saja. Dengan
ketentuan bila mempelai laki-laki dari Penglipuran maka mempelai perempuan
yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat Penglipuran. Yang
menarik adalah jika mempelai perempuan dari desa penglipuran dan laki-lakinya
dari adat yang lain, maka bisa saja laki-laki tersebut masuk ke dalam adat
Penglipuran dan hidup di desa Penglipuran tetapi dengan konsekuensi laki-laki
tersebut dianggap wanita oleh warga lainnya. Maksudnya tugas-tugas adat yang
dialaksanakan adalah tugas untuk para wanita bukan tugas para lelaki.
3.4.5 BENTUK
BANGUNAN DAN TOPOGRAFI
Topografi desa tersusun
sedimikian rupa dimana pada daerah utama desa kedudukannya lebih tinggi demikian
seterusnya menurun sampai daerah hilir. Pada daerah desa terdapat Pura
penataran dan Pura Puseh yang merupakan daerah utama desa yang unik dan
spesifik karena disepanjang jalan koridor desa hanya digunakan untuk pejalan
kaki, yang kanan kirinya dilengkapi dengan atribut-atribut struktur desa;
seperti tembok penyengker, angkul-angkul dan telajakan yang seragam.
Keseragaman dari wajah desa tersebut disamping karena adanya keseragaman bentuk
juga dari keseragaman bahan yaitu bahan tanah untuk tembok penyengker dan
angkul-angkul (pol-polan) dan atap dari bambu yang dibelah untuk seluruh
bangunan desa. Penggunaan bambu baik untuk atap, dinding maupun lain-lain
kebutuhan merupakan suatu keharusan untuk digunakan karena desa Penglipuran
dikelilingi oleh hutan bambu dan masih merupakan teritorial desa Penglipuran.
3.4.7 UPACARA
KEMATIAN (NGABEN)

Seperti daerah lain yang ada
di Bali, di Penglipuran masyarakatnya mengadakan upacara yang biasa disebut
ngaben. Dimana ngaben ini adalah suatu upacara kematian dalam rangka
mengembalikan arwah orang yang meninggal yang awalnya menurut kepercayaan orang
Bali arwah tersebut masih tersesat kemudian dikembalikan ke pura kediaman si
arwah. Yang membedakan daerah ini hanyalah pada ritualnya saja. Dimana
apabila orang bali lain ngaben dilakukan dengan cara membakar mayat, di
Penglipuran mayat di kubur. Menurut analisa hal tersebut dilakukan oleh
masyarakat Penglipuran sebagai tanda hormat dan juga sebagai cara untuk
mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk mengingat daerah Penglipuran yang
berada didaerah pegunungan yang jauh dari laut, seperti yang kita tahu bahwa
abu jenasah yang telah dibakar harus dilarung atau dibuang ke laut
sedangkan bagi orang Bali menyimpan abu jenasah adalah suatu pantangan, jadi
solusi terbaik adalah dimakamkan.
3.4.6 STRATIFIKASI
SOSIAL
Di Penglipuran hanya ada satu tingkatan kasta yaitu Kasta
Sudra, jadi di Penglipuran kedudukan antar warganya setara. Hanya saja ada
seseorang yang diangkat untuk memimpin mereka yaitu ketua adat. Pada saat ini ketua
adat yang masih menjabat adalah I Wayan Supat. Pemilihan ketua adat tersebut
dilakukan lima tahun sekali.
3.4.8 KESENIAN
Di Desa Penglipuran terdapat tari-tarian yaitu
tari Baris. Tari Baris sebagai salah satu bentuk seni tradisional yang berakar
kuat pada kehidupan masyarakatnya dan hidup secara mentradisi atau turun
temurun, dimana keberadaan Tari Baris Sakral di Desa Adat Penglipuran adalah
merupakan tarian yang langka, dan berfungsi sebagai tari penyelenggara upacara
dewa yadnya. Adapun iringan gambelan yang mengiringi pada saat pementasan semua
jenis Tari Baris Sakral tersebut adalah seperangkat gambelan Gong Gede yang
didukung oleh Sekaa Gong Gede Desa Adat Penglipuran. Unsur bentuk ini meliputi
juga keanggotaan sekaa Baris sakral ini di atur di dalam awig-awig Desa Adat
Penglipuran. Kemudian nama-nama penari ketiga jenis Baris sakral ini juga telah
ditetapkan, yakni Baris Jojor 12 orang, Baris Presi 12 orang, dan Baris Bedil
20orang.
3.5 Obyek Wisata di desa
Penglipuran
3.5.1 TUGU PAHLAWAN
Monumen ini didirikan pada tahun 1959 untuk memperingati
perang Revolusi di Kabupaten Bangli yang dipimpin oleh Kapten Anak Agung Anom
Muditha yang terletak disebelah selatan Desa Penglipuran.Luas Monumen ini 1,5
Ha dengan bangunan style Bali dengan balai Cura Yudha yang merupakan tempat
aktifitas tertentu dan tempat parkir.
Tugu Pahlawan di desa Penglipuran menjadi simbol Perjuangan
kapten Anang Agung Anom Mudita dari Puri Kanginan Bangli. Agung Gede Anom Mudita, gugur
melawan penjajah Belanda pada tanggal 20 November 1947. Taman Pahlawan ini
dibangun oleh masyarakat desa adat penglipuran sebagai wujud bakti dan hormat
mereka kepada sang pejuang.Bersama segenap rakyat Bangli, Kapten Mudita berjuang
tanpa pamrih demi martabat dan harga diri bangsa sampai titik darah
penghabisan. Tugu ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab krama desa adat
penglipuran dan tidak dillimpahkan kepada pemerintah.
3.5.2 HUTAN BAMBU
Desa Penglipuran
dikelilingi oleh Hutan bambu yang memberikan udara pedesaan yang sejuk dan
segar dengan bunyi gesekan pohon bambu yang unik bila bersentuhan satu sama
lain di saat angin berhembus.
Hutan ini dimiliki oleh
Desa dan sebagian milik Penduduk setempat dengan luas 45 Ha yang dipakai untuk
keperluan penduduk membangun rumah dan kerajinan tangan disamping untuk
keperluan upacara adat. Disamping itu hutan ini juga berfungsi sebagai penyerap
air disaat hujan dan penyedia air bersih di musim kemarau bagi desa yang berada
dibawahnya.
Kawasan
hutan bambu yang ada di desa panglipuran merupakan salah satu potensi budaya
yang sampai saat ini terpelihara dengan baik. Hutan bambu ini sudah ada sejak
ratusan tahun silam, walaupun begitu pihak desa adat hingga saat ini belum
memiliki aturan tertulis untuk menjaga kelangsungan dan kelestarian kawasan
hutan bambu ini. Meskipun begitu masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi
dalam menjaga kelangsungan dan kelestarian kawasan hutan bambu.
Bahkan
karena kesadaran masyarakat desa penglipuran untuk menjaga kelestarian hutan
bambu itu berimbas pada peraihan penghargaan kalpataru tahun 1992 dan 2007
untuk kategori penyelamatan lingkungan dari pemerintah pusat. Di hutan bambu
itu sedikitnya ada 13 jenis bambu yang hidup dan berkembang di kawasan hutan
ini. Jenis yang paling banyak adalah jenis jajang hitam, jajang hijau, jajang
kuning, serta jajang loreng. Warga masyarakat setempat secara turun-temurun,
menerapkan sistem tebang pilih untuk menjaga kelangsungan ekologis.
Setiap
6 bulan sekali rata-rata bambu di tebang pilih. Paling mudah memang dilihat
dari seluhung batangnya, jika sudah mengelupas sebagian besar, berarti siap di
panen. Demikian pula untuk pemotongan masyarakat panglipuran, juga mengenal
pantangan untuk menebang pohon bambu yakni saat hari senin (some) umanis.
Biasanya bambu-bambu yang dimiliki masyarakat desa adat, dibudidayakan untuk
pembangunan di tempat suci (pura), mengingat semua bangunan pura diluar tempat
suci (pelinggih) atap bangunan menggunakan bambu, begitu juga dengan pembangunan
sarana umum seperti bale banjar untuk atap bangunan juga menggunakan bahan
bambu. Selain itu sebagian besar warga memang sumber penghidupannya dari
menjual bambu, baik dalam berbagai bentuk cinderamata.
Kawasan hutan bambu ini memiliki suasana sunyi
seperti di tengah
hutan, selain akan memberikan suasana tersendiri bagi wisatawan, juga akan
makin mendekatkan wisatawan akan keindahan alam yang ada di hutan bambu Desa
Penglipuran. Usai menikmati keindahan hutan bambu, wisatawan juga bisa
menyaksikan perkebunan penduduk serta aktivitas pembuatan aneka bentuk anyaman
bambu yang dikerjakan oleh warga Penglipuran. Kondisi ini tentunya akan
menambah pengalaman wisatawan.